ads

Minggu, 22 Februari 2009

Anang; Melewati Berbagai Perubahan



Oleh MS Wibowo

Usaha lain yang pernah dilakukannya adalah membuka warung di kontrakannya, di Jl. Semanggi II Cempakah Putih Ciputat. Ia menyebutnya warkos (warung kosan). Tak hanya itu, ia juga pernah tiap malam keliling menjajakan rokok, kopi dan semacamnya ke kontrakan-kontrakan mahasiswa yang masih begadang. Tapi usahanya ini tak dilanjutkan lagi karena kesibukan mengurus kuliah.


Hijrah menjalani hidup ke Jakarta memang tak selalu mudah, walau hanya sebatas menuntut ilmu. Terlebih bagi yang kurang memiliki modal banyak atau tak ada jaminan bulanan dari orang tua. Berbagai rencana, harapan dan angan-angan yang telah tersusun rapih, lengkap dengan plan A, B hingga C kadang berantakan diterpa keadaan dan situasi.

Peras otak, banting tenaga harus beriringan. Semua demi mencapai cita-cita di satu sisi, dan mengisi perut di sisi lain. Di lain sisi lagi, mungkin harus ikut aktif dalam berbagai kegiatan organisasi agar tak menjadi mahasiswa kupu-kupu yang tak bersayap. Katanya sih, agar setelah lulus banyak kenalan yang bisa ngejamin kerja kita nanti.

Tak sedikit, pekerjaan yang enggan berkompromi dengan kuliah atau organisasi. Bagi yang berada di jalur ini, jamu pahit kadang harus ditelan, meskipun tak mau. Banyak cara dan ragam mahasiswa untuk mempertahankan hidup dan demi memeroleh selemabar kertas ijazah. Ada yang menjadi surveyor, ada yang jualan bakso, koran, kertas bekas, memulung sampah dan sebagainya.

Dari puluhan ribu mahasiswa, Anang adalah salah-satu mahasiswa yang menjalani pahitnya perjuangan hidup mahasiswa dengan penuh warna. Ia hijrah dari kampong halamannya di Pemalang Jawa Tengah, sejak 1998 lalu. Di tahun pecahnya reformasi itu pula ia tercatat sebagai mahasiswa di Fakultas Psikologi UIN Jakarta.

Di tengah euforia gelora semangat juang mahasiwa kala itu, Anang pun tak ketinggalan dengan kawan-kawannya. Sebagai orang yang sadar bahwa dirinya tergolong dalam ekonomi menengah ke bawah, ia merasa terpanggil untuk memerjuangkan nasib rakyat. Ia pun selalu tampil di barisan aksi mahasiswa. “Dulu pernah sok-sokan nantangin tentara, dengan ngacung-ngacungin leher ke arah bayonet-bayonet TNI,” tutur Anang.

Pernah juga, lanjut Anang, saya dimarahin kedua orang tua karena mereka melihat saya di TV sedang demo bersama kawan-kawan. Orang tua saya mengkhawatirkan keselamatan saya waktu itu. Tapi saya masih tetap saja ikut demo. “Sekarang sudah maleslah kaya gitu-gitu lagi. Saya mau membenahi hidup dulu sama membereskan kuliah saya,” tegas Anang.

Hingga kini Anang memang belum menyelesaikan studi S1-nya di Psikologi UIN Jakarta. Demi menyelamatkan status mahasiswanya, ia pindah ke program non-regular. Namun ia berharap dapat menyelesaikan kuliahnya tahun ini.

Selain minta sibuk mengurus surat ini, itu, perpanjangan masa studi dan sebagainya, Anang mengumpulkan kertas dan barang-barang bekas untuk dijual. Selain itu ia juga menjadi agen pulsa elektrik. Sistem penjualan pulsa yang ia lakukan hanyalah mulut lewat mulut saja. Penghasilan dari pulsa ini pun tak seberapa, mengingat telah menjamurnya counter-counter HP dan pulsa di Ciputat ini. Ditanya kenapa tak membuka counter HP, Anang menjawab, belum siap. Selain modal sewa tempat yang mahal, saat ini ia masih harus mobile kesana-kemari mengurus banyak hal.

Usaha lain yang pernah dilakukannya adalah membuka warung di kontrakannya di Jl. Semanggi II Cempaka Putih Ciputat. Ia menyebutnya warkos (warung kosan). Tak hanya itu, ia juga pernah tiap malam keliling menjajakan rokok, kopi dan semacamnya ke kontrakan-kontrakan mahasiswa yang masih begadang. Tapi usahanya ini tak dilanjutkan lagi karena kesibukan mengurus kuliah.

Anang memang seorang mahasiswa yang ulet. Hal ini di akui Rustam, teman satu kost-nya. “Salut aku sama kak Anang dalam caranya bertahan di Ciputat ini. Entah darimana ia mendapat ide membuka warkos. Saya juga pernah terkaget dulu ketika saat konversi minyak ke gas baru terjadi. Minyak segera langka waktu itu. Tapi Anang, entah darimana mendapatkan minyak itu. Ibu-ibu dulu tuh pada ngantri di sini untuk membeli minyak,” papar Rustam, mahasiswa semester akhir Fakultas Dirosat Islamiayah.

Anang hanyalah satu dari mahasiwa UIN Jakarta yang menjalani hidup penuh romantika kerja otak banting tulang. Ia juga telah melewati barbagai perubahan yang terjadi di UIN Jakarta. Mulai dari pergantian Orde Baru ke era reformasi, konversi IAIN menjadi UIN Jakarta, pergantian presiden hingga empat kali, gantinya logo UIN Jakarta, bersesernya budaya mahasiwa, baik dari sisi intelektualitas, gerakan, gaya hidup dan sebagainya. Perubahan-perubahan itu telah menempa Anang menjadi sosok yang kuat, baik rohani maupun jasmani. Walau keadaan diri masih belum banyak ganti, tapi tetap ada seberkas harapan di hari esok yang lebih baik.[]