ads

Jumat, 12 Maret 2010

Sekulerisme, Liberalisme dan Pluralisme Adalah Solusi Bagi Indonesia.

Bedah Buku Membela Kebebasan Beragama.


Tangerang, Lekompress - Laboraturium Filsafat Islam dan Tasawuf (Labfit) Fakultas Ushuluddin dan Filsafat (FUF) UIN Jakarta berkerjasama dengan Universitas Paramadina menggelar diskusi dan bedah buku “Membela Kebebasan Beragama”, Rabu (10/3) lalu. Acara yang bertempat di ruang teater lt. 4 FUF ini menghadirkan Cendikiawan Muslim Media Fauzul A., Ketua Labfit Nanang Tahqiq, dan Budhy Munawar Rachman (Editor).

Buku terbitan Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF) ini memuat percakapan dengan 70 tokoh muslim di Indonesia, membahas kebebasan beragama di Indonesia dan permasalahannya. Ide dasar buku ini, sebagaimana diutarakan Bhudy dalam pengantar buku, yang dibagikan gratis dalam cetakan terpisah adalah, Indonesia merupakan negara yang sangat majemuk dengan aneka ragam suku, bangsa, budaya dan agama. Ini bisa menjadi berkah jika dihargai dan menjadi modal untuk kemajuan bangsa Indonesia. Sebaliknya akan menjadi musibah berupa konflik dan semacamnya, manakala diabaikan dan dipaksakan menjadi tunggal.

Konflik biasa terjadi lantaran satu kelompok menganggap kelompok lain bermasalah, menyimpang atau sesat. Tapi hal ini takkan terjadi tanpa ada pemicunya.

Budhy juga mengatakan, salah-satu pemicu konflik di Indonesia ialah fatwa-fatwa MUI, misalnya pengharaman sekulerisme, pluralisme dan liberalisme. Fatwa ini memang tidak mempunyai kekuatan secara hukum di negara kita. Namun dampak politisnya, memperkeruh kehidupan berbangsa di tanah air kita, yang sebelumnya berjalan cukup harmonis.

Fatwa MUI jelas melanggar basis-basis moral keislaman universal karena tampak ekslusif, tidak pluralis dan cenderung diskriminatif. Akibatnya terjadi pembenaran terhadap anarkisme, seperti penganiayaan terhadap pemeluk Ahmadiyah, tragedi monas, penutupan-penutupan gereja dsb.

Keragaman dan kemajemukan adalah fakta tak terelakkan di negeri ini. Hal itu tak akan mengarah pada perkembangan yang baik tanpa trilogi sekularisme, liberalisme dan pluralisme. Sayangnya, MUI memberi definisi sendiri yang beraroma negatif. Misalnya, liberalisme ditafsirkan berfikir sebebas-bebasnya kemudian meninggalkan agama. MUI juga mengharamkan sekulerisme, liberalisme dan pluralisme dengan anggapan para pembela trilogi ini menjadikan agama hanya urusan akhirat belaka.

Di sini Bhudy menjelaskan, sekulerisme adalah pemisahan secara relatif antara agama dan negara. Hal ini diupayakan agar tak ada dua kekuatan yang berkolaborasi menjadi negara agama atau agama negara. Sebab resikonya sangat tinggi, yakni timbulnya otoriarian kekuasaan yang sangat kuat. Dalam sejarah, baik Islam maupun Eropa, hal ini telah menimbulkan pengalaman traumatis. Inti sekulerisme adalah demokrasi, dan inti demokrasi adalah tidak dimungkinkannya satu bidang ke semua bidang lainnya. Semenatara demokrasi hanya bisa berkembang, kalau masyarakatnya liberal.

Memang banyak kritikan keras terhadap liberalisme. Tapi sebenarnya yang dimaksud dari liberalisme yaitu suatu perlindungan terhadap hak-hak dan kebebasan sipil. Karena itu liberalisme amat dibutuhkan, termasuk dalam pemikiran agama. Dengan liberalisme, kesehatan dan keseimbangan agama akan terjaga. Sebab, berfikir liberal, rasional dan kritis merupakan cita-cita yang tak bisa dinafikan.

Sementara itu, pluralitas merupakan bibit perpecahan. Karena itu, diperlukan sikap toleran, keterbukaan dan kesetaraan. Itulah inti gagasan pluralisme. Pluralisme memungkinkan terjadinya kerukunan dalam masyarakat, bukan konflik.[MSW]

Konser Tunggal Postar Jilid III

Tangerang, Lekompress- Untuk kali ketiga, Pojok Seni Tarbiyah (Postar) menggelar konser tunggal Rabu (10/3) malam lalu. Agenda tahunan Lembaga Semi Otonom (LSO) Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Syarif Hidayatullah, Ciputat, Tangerang tersebut mengambil tema, “Seni Untuk Jiwa”.

Pada kesempatan ini, Postar menampilkan seluruh hasil kreativitasnya seperti, Band Performance, Tari Saman, Pentas Teater dan sebagainya. Di di tepi lain, ada pula Karawitan Jawa, serta yang baru di-launching malam itu juga, yakni Degung Sunda.

Dalam sambutannya, Pudek III FITK mengungkapkan, Postar adalah kumpulan para BOS (Bukan Orang Sembarangan). Lembaga ini menjadi salah-satu keunggulan Fakultas Tarbiyah dibanding fakultas lain di UIN. “Dengan Postar, mari kita tunjukkan bahwa mahasiswa bisa mengembangkan kreativitas tanpa mengorbankan kuliahnya,” ajak Pudek III FITK.[MSW]

Senin, 08 Maret 2010

TNI Belajar Ekonomi Dan Gerilya Pada Tan Malaka

Tangerang-Lekompress, “Ketika itu saya kelas IV SD. Tan Malaka pernah menginap dan tidur sekamar dengan saya. Beliau bertanya, ‘Buyung, kalau ada maling masuk ke rumahmu, apa yang kamu lakukan? Apakah kamu ajak berunding, menjamunya atau dibiarkan saja?’” “Tidak Buyung, kalau ada maling masuk ke rumah, yang pertama kita lakukan adalah tendang dulu dia keluar.”
Demikian Adnan Buyung Nasution menceritakan kisah puluhan tahun lalu bersama Tan Malaka, pada acara “In Memoriam 61 Tahun Hilangnya Tan Malaka” senin (8/3) di Aula Student Center UIN Jakarta. Dalam penyelenggaraannya, panitia In Memoriam menggandeng Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) IPA Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Jakarta.
Selain Buyung, hadir sebagai pembicara Asvi Warman Adam (sejarawan dan peneliti LIPI), Zulhasrul Nasir (Guru Besar Ilmu Komunikasi Fisip UI), M. Arif (Dosen pendidikan dan peneliti sejarah UIN Jakarta), serta di moderatori Bonie Triyana (Chief Editor Historia Of Indonesia).
Pada kesempatan ini, Adnan Buyung Nasution juga mengungkapkan, Tan Malaka adalah orang yang bercita-cita, jika merdeka, Indonesia harus menjadi negara republik. Ini merupakan refleksi Tan Malaka terhadap bangsa Indonesia yang berkultur feodal. Menurut Buyung, kultur tersebut membuat manusia Indonesia sulit mandiri. Untuk mengubah itu, untuk pertama kalinya Tan Malaka mendirikan sekolah rakyat di daerah Jawa Tengah.
Buyung menambahkan, Tan Malaka adalah sosok yang cerdas dan berkarakter serta teguh pendirian. “Jarang pemimpin Indonesia saat ini yang seperti dia. TNI belajar dari Tan Malaka terkait masalah gerilya dan ekonomi.
Dalam kesempatan ini, Buyung juga menyinggung kasus Century yang tengah menjadi sorotan. “Saya adalah orang pertama yang bilang pada presiden, terbukalah. Sebab, semua yang dilakukan Menteri Keuangan, Gubernur BI adalah tanggung jawab Presiden. Setelah hasil rapat paripurna kemarin, Century akan menjadi bukti apakah hukum di Indonesia berjalan benar atau tidak. Mari kita saksikan,” kata Buyung berapi-api.
Sementara itu, M Arif memaparkan beberapa kesimpulan kenapa jasa dan ketokohan Tan Malaka terpinggirkan. Di antaranya, karena Ia hidup dalam pengejaran Kapitalis Kolonial, memilih berjuang di bawah tanah atau di balik layar dan terakhir bersentuhan dengan PKI.
Terkait yang terakhir, bukan berarti Tan Malaka seorang komunis atheis. Sampai akhir hanyatnya ia tetap seorang muslim yang taat. Arif menjelaskan, aktivitas di PKI semata-mata alat perjuangan. Demikian juga dengan partai-partai lain yang didirikan Tan Malaka seperti PARI dan Murba.
Di tepi lain, Asvi Warman Adam mengatakan, kita tak seharusnya selalu berbicara masalah politik saja. Tapi juga hal-hal sederhana yang menarik. Misalkan kenapa sampai akhir hayat Tan Malak tak menikah, atau kontraversi tentang logat Tan Malaka saat berpidato di Semarang dan sebagainya. Jika penelusuran dilanjutkan, pertanyaatn-pertanyaan sepele ini akan menggiring kita pada jawaban-jawaban penting.
Pembicara keempat Zulhasril Nasir lebih menyorot riwayat hidup, semangat juang dan integritas Tan Malaka. Ia juga mengungkap fakta yang selama ini ditutup oleh Orde Baru bahwa Tan Malaka telah ditetapkan sebagai pahlawan kemerdekaan nasional, berdasarkan Ketetapan Presiden RI No. 53, yang ditandatangani Presiden Soekarno 28 Maret 1963.[MSW]