ads

Senin, 08 Maret 2010

TNI Belajar Ekonomi Dan Gerilya Pada Tan Malaka

Tangerang-Lekompress, “Ketika itu saya kelas IV SD. Tan Malaka pernah menginap dan tidur sekamar dengan saya. Beliau bertanya, ‘Buyung, kalau ada maling masuk ke rumahmu, apa yang kamu lakukan? Apakah kamu ajak berunding, menjamunya atau dibiarkan saja?’” “Tidak Buyung, kalau ada maling masuk ke rumah, yang pertama kita lakukan adalah tendang dulu dia keluar.”
Demikian Adnan Buyung Nasution menceritakan kisah puluhan tahun lalu bersama Tan Malaka, pada acara “In Memoriam 61 Tahun Hilangnya Tan Malaka” senin (8/3) di Aula Student Center UIN Jakarta. Dalam penyelenggaraannya, panitia In Memoriam menggandeng Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) IPA Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Jakarta.
Selain Buyung, hadir sebagai pembicara Asvi Warman Adam (sejarawan dan peneliti LIPI), Zulhasrul Nasir (Guru Besar Ilmu Komunikasi Fisip UI), M. Arif (Dosen pendidikan dan peneliti sejarah UIN Jakarta), serta di moderatori Bonie Triyana (Chief Editor Historia Of Indonesia).
Pada kesempatan ini, Adnan Buyung Nasution juga mengungkapkan, Tan Malaka adalah orang yang bercita-cita, jika merdeka, Indonesia harus menjadi negara republik. Ini merupakan refleksi Tan Malaka terhadap bangsa Indonesia yang berkultur feodal. Menurut Buyung, kultur tersebut membuat manusia Indonesia sulit mandiri. Untuk mengubah itu, untuk pertama kalinya Tan Malaka mendirikan sekolah rakyat di daerah Jawa Tengah.
Buyung menambahkan, Tan Malaka adalah sosok yang cerdas dan berkarakter serta teguh pendirian. “Jarang pemimpin Indonesia saat ini yang seperti dia. TNI belajar dari Tan Malaka terkait masalah gerilya dan ekonomi.
Dalam kesempatan ini, Buyung juga menyinggung kasus Century yang tengah menjadi sorotan. “Saya adalah orang pertama yang bilang pada presiden, terbukalah. Sebab, semua yang dilakukan Menteri Keuangan, Gubernur BI adalah tanggung jawab Presiden. Setelah hasil rapat paripurna kemarin, Century akan menjadi bukti apakah hukum di Indonesia berjalan benar atau tidak. Mari kita saksikan,” kata Buyung berapi-api.
Sementara itu, M Arif memaparkan beberapa kesimpulan kenapa jasa dan ketokohan Tan Malaka terpinggirkan. Di antaranya, karena Ia hidup dalam pengejaran Kapitalis Kolonial, memilih berjuang di bawah tanah atau di balik layar dan terakhir bersentuhan dengan PKI.
Terkait yang terakhir, bukan berarti Tan Malaka seorang komunis atheis. Sampai akhir hanyatnya ia tetap seorang muslim yang taat. Arif menjelaskan, aktivitas di PKI semata-mata alat perjuangan. Demikian juga dengan partai-partai lain yang didirikan Tan Malaka seperti PARI dan Murba.
Di tepi lain, Asvi Warman Adam mengatakan, kita tak seharusnya selalu berbicara masalah politik saja. Tapi juga hal-hal sederhana yang menarik. Misalkan kenapa sampai akhir hayat Tan Malak tak menikah, atau kontraversi tentang logat Tan Malaka saat berpidato di Semarang dan sebagainya. Jika penelusuran dilanjutkan, pertanyaatn-pertanyaan sepele ini akan menggiring kita pada jawaban-jawaban penting.
Pembicara keempat Zulhasril Nasir lebih menyorot riwayat hidup, semangat juang dan integritas Tan Malaka. Ia juga mengungkap fakta yang selama ini ditutup oleh Orde Baru bahwa Tan Malaka telah ditetapkan sebagai pahlawan kemerdekaan nasional, berdasarkan Ketetapan Presiden RI No. 53, yang ditandatangani Presiden Soekarno 28 Maret 1963.[MSW]

Tidak ada komentar: